Breaking News

05 Juli 2025

Hari Ini Aku Lulus, Tapi Siapa yang Akan Aku Peluk di Depan Sekolah?

hanapibani.com

Cerita: Kisah seorang anak yatim yang berdiri sendirian di hari kelulusannya.

Bab 1: Seragam yang Mulai Kekecilan, Tapi Tetap Kusetrika Rapi**

Namaku **Reno**, 12 tahun. Hari ini aku resmi lulus dari SD.

Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya. Seragam putih biru yang mulai kekecilan tetap kusetrika sendiri dengan setrika tua di dapur. Sepatu usang yang bagian depannya mulai terbuka, kuikat lebih kencang.

> Karena ini hari penting.

> Hari yang katanya jadi kebanggaan semua orang tua.

Tapi sejak subuh tadi... **rumahku sepi.**

Tidak ada suara Ibu di dapur. Tidak ada Ayah yang memanggil dari ruang tengah.

Karena **Ayah sudah meninggal sejak aku kelas 3**. Dan **Ibu… baru saja pergi 3 bulan lalu karena sakit yang tak sanggup lagi disembunyikannya di balik senyum.**


Bab 2: Semua Anak Tertawa, Tapi Aku Menahan Air Mata**

Di halaman sekolah, ramai suara tawa, musik, dan kamera ponsel.

Teman-temanku berdiri rapi, mengenakan selempang kelulusan, bunga plastik, dan pita warna-warni.

Orang tua mereka bersorak, memeluk, mencium, bahkan meneteskan air mata bangga.

Aku berdiri sendiri.

Guruku, Bu Nani, menghampiri dengan senyum iba.

> “Reno, kamu kuat, ya. Ibu dan Ayahmu pasti bangga di surga sana…”

Aku tersenyum, tapi mataku mulai berkaca.

> Karena aku ingin sekali… hanya sekali… **memeluk seseorang hari ini.**


Bab 3: Satu Nama Tak Disebut**

Satu per satu nama dipanggil ke panggung.

Orang tua ikut naik. Anak-anak memeluk mereka erat. Ada yang sampai menangis. Ada yang melompat karena bahagia.

Lalu namaku disebut.

> “Reno Aditya… peringkat 4 besar, dan lulus dengan nilai sangat baik.”


Aku naik ke panggung. Langkahku kaku.

Dan saat aku berdiri di tengah panggung, **kursi untuk pendamping di sampingku kosong.**

Semua orang melihat.

Tapi aku menunduk. Aku menggenggam ijazah erat-erat.

Lalu, pelan… **aku memeluk ijazah itu seperti memeluk seseorang yang tak bisa hadir.**


Bab 4: Di Balik Pintu Gerbang, Semua Anak Berpelukan**

Selesai acara, suasana berubah jadi lautan pelukan.

Anak-anak memeluk ibunya. Ada yang digendong ayahnya. Ada yang difoto bersama keluarga besar.

Aku berdiri di dekat gerbang sekolah.

Kepalaku tertunduk. Aku mencoba kuat.

> “Hari ini aku lulus. Tapi… siapa yang akan aku peluk di depan sekolah?”


Tangan kecilku menggenggam gagang pagar.

Dan tiba-tiba, aku melihat **bayangan samar seperti Ibu berdiri di sisi kanan pagar**, tersenyum… lalu menghilang pelan-pelan.


Bab 5: Surat Terakhir Ibu, Terselip di Kotak Obat**

Malamnya, aku membuka laci tua peninggalan Ibu. Di sana, aku menemukan **sepucuk surat yang tak pernah kubaca sebelumnya**, diselipkan di bawah botol obat.

Tulisan tangan Ibu:

> *“Untuk Reno, anakku yang kuat…*

> Maaf kalau Ibu tak bisa hadir di hari kelulusanmu nanti.

> Tapi Ibu percaya, kamu akan berdiri tegak.

> Kalau hari itu datang, dan kamu merasa sendirian di depan sekolah, ingat ini:

> **Peluklah langit, Nak. Karena di sanalah pelukan Ibu berada…**

> Ibu selalu bersamamu, dalam langkah, dalam doa, dan dalam setiap keberhasilan yang kamu raih.

> Selamat lulus, anakku. Kamu sudah hebat. Maaf kalau Ibu tak bisa menunggu hari itu…”


Aku menangis tersedu.

Aku peluk surat itu sekuat mungkin, seolah-olah bisa menarik Ibu turun dari langit.


Bab 6: Sekarang Aku Tahu, Aku Tidak Sendiri**


Besoknya, aku kembali ke sekolah untuk mengambil foto bersama. Teman-teman mulai pamer rencana masuk SMP favorit.

Aku diam saja.

Tapi saat akan pulang, Bu Nani menyodorkan satu tas plastik.


> “Ini dari kami, guru-gurumu. Kami tahu kamu sendiri, Reno. Tapi kamu tak pernah benar-benar sendirian.”

Isinya?

Satu stel seragam SMP baru.

Dan kartu ucapan bertuliskan:

**“Untuk Reno, yang sudah kuat terlalu lama. Hari ini, kamu boleh menangis.”**


Bab 7: Hari Itu Aku Lulus—Dan Aku Memeluk Langit**


Aku berdiri di jalan kecil menuju rumah. Langit sore berwarna jingga. Aku mendongak ke atas.

> “Bu, Ayah… aku lulus hari ini.”

> “Aku berdiri sendirian di gerbang sekolah, tapi aku tahu… kalian memelukku dari jauh.”


Lalu aku tersenyum dalam air mata.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa pelukan itu benar-benar ada.


Bab 8: Pelukan yang Datang dari Arah yang Tak Kusayangka**


Tiga hari setelah kelulusan, aku tak ke mana-mana.

Ijazah masih kusimpan di laci kecil, bersama surat terakhir dari Ibu.

Aku hanya duduk di beranda, menatap jalanan, memikirkan satu hal:


> “Apa aku akan selalu sendiri?”


Sore itu, seseorang datang ke rumah.

**Pak Husen**, penjaga sekolah. Lelaki tua yang biasanya hanya menyapu dan menyalakan lampu kelas.


Dia berdiri di depan pagar dan berkata:

> “Nak Reno, boleh Pak Husen masuk sebentar?”


Aku mengangguk.

Di tangannya ada bungkusan plastik berisi dua nasi bungkus dan satu jaket sekolah berwarna abu-abu—seragam SMP.


> “Bapak tahu kamu gak punya siapa-siapa sekarang.

> Tapi... kamu anak baik. Kalau kamu gak keberatan, kamu bisa ikut Bapak tinggal.

> Rumah Bapak kecil. Tapi kita bisa makan bareng, belajar bareng, dan... kamu boleh peluk Bapak kapanpun kamu butuh.”


Aku tak menjawab.

Aku hanya berdiri... lalu **memeluk Pak Husen erat-erat**, menangis di dadanya.

Untuk pertama kalinya sejak kepergian Ibu... **aku merasa seperti anak kecil lagi.**


Bab 9: Setiap Malam, Aku Tetap Memeluk Langit**

Tinggal bersama Pak Husen bukan hal mudah. Kami hidup pas-pasan. Tapi **setiap pagi ada yang membangunkanku**, menyeduhkan teh, dan berkata:

> “Ayo, anak kuat. Berangkat sekolah.”


Di sekolah SMP baruku, aku diam saja. Tak banyak bicara.

Sampai suatu hari, guru meminta kami menggambar "Pelukan Terindah dalam Hidupmu".


Anak-anak menggambar ibu, ayah, nenek.

Aku menggambar: **langit.**


Saat guruku bertanya, aku menjawab:


> “Pelukan terindahku… tidak bisa kulihat. Tapi bisa kurasa setiap malam saat aku menutup mata.”


> “Pelukan itu datang dari orang yang kini tinggal di langit,

> dan dari orang yang tak pernah kulahirkan, tapi memilih memelukku seperti anak sendiri.”


Bab 10: Lulus Lagi, Tapi Kali Ini Aku Tak Sendiri**

Waktu berlalu. Hari kelulusan SMP datang.


Aku berdiri di lapangan, mengenakan seragam terakhirku, sudah mulai kekecilan lagi, tapi bersih dan rapi.


Namaku kembali dipanggil:

> "Reno Aditya. Lulus dengan nilai terbaik. Peraih beasiswa penuh."


Tapi kali ini, saat aku melangkah ke depan...


**Pak Husen berdiri di sampingku.**

Ia tak berkata apa-apa, hanya menepuk pundakku pelan.


Dan aku memeluknya…

Bukan karena sedih seperti dulu,

Tapi karena **akhirnya aku tahu: aku tidak benar-benar sendirian.**


Bab 11: Surat Untuk Ibu, dari Anak yang Sudah Tak Sendiri**


Malam itu, aku menulis surat dan menaruhnya di bawah bantal.


> “Ibu...

> Hari ini aku lulus lagi.

> Dan seperti hari itu, aku masih menatap langit dan berharap Ibu turun sebentar untuk kupeluk.

> Tapi tak apa. Aku sudah besar sekarang.

> Dan pelukan itu... kini hadir lewat tangan Pak Husen, lewat teman yang peduli, lewat guru-guru yang percaya padaku.

> Ibu, aku gak pernah lupa rasanya berdiri sendiri di depan gerbang sekolah.

> Tapi kini... aku tahu,

> **setiap langkah sepi yang dulu Ibu tinggalkan,

> telah berubah jadi jalan untukku menemukan keluarga yang baru.**

> Aku rindu, Bu. Tapi aku juga bahagia.”


Bab 12: Aku Melanjutkan Sekolah, Tapi Bukan Cuma untuk Diriku Sendiri**


Dengan bantuan beasiswa, aku masuk SMA terbaik di kota kecilku.

Setiap pagi, sebelum berangkat, Pak Husen selalu bilang:


> “Kalau kamu pintar, Nak… jangan cuma buat diri sendiri. Ingat rasa sepi itu.

> Suatu hari, kamu harus jadi pelukan untuk orang lain yang kehilangan.”


Kalimat itu terus melekat di hatiku.


Aku belajar lebih giat dari siapa pun. Tidak karena ingin dipuji. Tapi karena aku ingin **membuktikan pada langit, bahwa anak yatim pun bisa berdiri setinggi bintang.**


Bab 13: Di Hari Kelulusan SMA, Aku Membawa Dua Foto**

Hari itu, aku lulus SMA dengan nilai tertinggi.


Saat namaku dipanggil dan aku berdiri di atas panggung, aku mengambil sesuatu dari sakuku:


* Foto Ibu, tersenyum dengan kerudung kuning yang dulu ia pakai terakhir kali ke pasar.

* Foto Ayah, hitam putih, usang, tapi masih kukenali matanya yang hangat.


Aku angkat kedua foto itu di hadapan semua orang.


> “Ini pelukanku hari ini. Bukan dari tangan yang nyata,

> tapi dari cinta yang tak pernah mati… bahkan saat pemiliknya sudah pergi.”


Seluruh lapangan hening.


Dan Bu Nani—guru SD yang dulu memelukku saat aku sendiri—menangis di barisan kursi belakang.


Bab 14: Aku Kembali ke Sekolah Lama—Tapi Bukan Lagi Sebagai Murid**

Lima tahun kemudian, setelah lulus kuliah, aku kembali ke SD tempat aku dulu berdiri sendiri di gerbang.


Tapi kali ini, **aku datang bukan sebagai anak kecil yang kehilangan**.

Aku datang sebagai **guru muda**, mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam.


Anak-anak memanggilku, “Pak Reno!”


Dan setiap kali ada acara kelulusan, aku perhatikan satu hal:


> Siapa yang berdiri sendiri di pojok pagar?

> Siapa yang tidak dijemput?

> Siapa yang memandangi temannya memeluk orang tua sambil diam-diam menunduk?


Dan untuk anak-anak itu, **akulah pelukan itu sekarang.**


Bab 15: Pelukan yang Tertinggal di Langit, Kini Kuturunkan ke Bumi**

Suatu sore, aku membuka rumah kecil peninggalan Pak Husen yang kini sudah berpulang.


Kudekor sederhana, kuberi papan nama:


> **"Rumah Pelukan Reno" – Tempat Tinggal dan Belajar Gratis untuk Anak-anak Tanpa Pelukan."**

Anak-anak mulai berdatangan. Ada yang yatim. Ada yang ditinggal. Ada yang hanya ingin merasa disayangi.


Setiap sore, aku duduk di teras.

Dan satu per satu mereka datang, memelukku sambil berkata:


> “Pak Reno, hari ini aku lulus…”


Dan aku membalas, sambil menahan air mata:


> “Pelukan ini… buat siapa pun yang pernah berdiri sendirian di gerbang sekolah.”


🌤️ TAMAT – Tapi Kini, Pelukan Itu Telah Menjadi Rumah Bagi Banyak Anak yang Pernah Sendiri 🌤️



Cek Seragam sekolah sd celana panjang merah hijau putih coklat hitam sd seragam sekolah sd mi madrasah dengan harga Rp45.900. Dapatkan di Shopee sekarang! https://s.shopee.co.id/2VgOqVVHLp?share_channel_code=1

Demikian informasi yang dapat kami sampaikan tentang "Panduan Masuk ke Pembelajaran Mandiri di Ruang GTK Kemenag", semoga bermanfa'at. 

Terimakasih atas kunjungannya, mohon doa' agar kami sekeluarga diberikan kesehatan dan blog ini terus berkembang serta berguna bagi semua orang.
Memberi manfa'at baik di dunia maupun di akhirat.

Untuk mendapatkan pemberitahuan langsung mengenai artikel terbaru di facebook dari website ini silakan klik suka pada halaman kami  HANAPI BANI 

atau gabung Group kami;

Youtube ;(Klik DISINI)
Instagram ; (Klik DISINI)
Telegram ; (Klik DISINI)
Bip ; (Klik DISINI)
Halaman FB 
(Klik DISINI)

WA 1 ; (Klik DISINI)
WA 2 ; (Klik DISINI)
WA 3 ; (Klik DISINI)
WA 4 ; (Klik DISINI)

WA 5 ; (Klik DISINI)
WA 6 ; (Klik DISINI)
WA 7 ; (Klik DISINI)
WA 8 ; (Klik DISINI)
WA 9 ; (Klik DISINI)
WA 10 ; (Klik DISINI)
WA 11 ; (Klik DISINI)
WA 12 ; (Klik DISINI)
WA 13 ; (Klik DISINI)
WA 14 ; (Klik DISINI)
WA 15 ; (Klik DISINI)
WA 16 ; (Klik DISINI)
Komunitas WA #1 ;(Klik DISINI)
Komunitas WA #2 ;(Klik DISINI)
Saluran WA tanpa Batas ; (Klik DISINI)

Ùˆ ØµÙ„Ù‰  Ø§Ù„له Ø¹Ù„Ù‰ سيدنا محمد Ùˆ على أله
 Ùˆ صحبه Ùˆ سلم أجمعين
ثم السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Protected by Copyscape 

0 Comments

Tidak ada komentar:

Translate

Artikel Terbaru

Hari Ini Aku Lulus, Tapi Siapa yang Akan Aku Peluk di Depan Sekolah?

Cerita: Kisah seorang anak yatim yang berdiri sendirian di hari kelulusannya. Bab 1: Seragam yang Mulai Kekecilan, Tapi Tetap Kusetrika Rapi...

Powered by BeGeEm - Designed Template By HANAPI