Breaking News

09 Oktober 2021

37 Tahun Mengabdi Sebagai Guru Honorer, Sabran: Jangan Selalu Memikirkan Uang

 



السلام عليكم و رحمة الله و بركاته
بسم الله و الحمد لله
اللهم صلى على سيدنا محمد و على أله
 Ùˆ صحبه أجمعين

Salam Sahabat Hanapi Bani.

Menjadi guru honorer sejak tahun 1984 hingga kini bukanlah waktu yang sebentar. Alih-alih mengeluh, Syabran Has justru menitipkan pesan: amalkan ilmu, nikmati, lalu bersyukurlah.

-- Penulis: WAHYU RAMADHAN, Banjarmasin

Bel tanda berakhirnya jam pelajaran baru saja berbunyi. Di ruang kelas 2c SDN Karang Mekar 1, Syabran menadahkan kedua tangan diikuti muridnya.

Tak berapa lama, lantunan doa penutup belajar dibacakan.

Seusai berdoa, dengan lantang para murid berucap, “Terima kasih bapak dan ibu guru!” Kemudian dengan tertib siswa meninggalkan kelas.

“Karena penilaian tengah semester (PTS), hari ini anak-anak pulang lebih cepat,” ucap Syabran.

Pria 62 tahun itu satu dari ribuan guru honorer yang mengabdi untuk dunia pendidikan Banjarmasin. Ia mengajar di SDN Karang Mekar 1 sejak masih bernama SDN Pekapuran Baru.

Ditemui di ruang guru, Syabran tampak bersemangat menceritakan pengalamannya menjadi guru. Sekalipun pada awal wawancara agak malu-malu.

Kisahnya menjadi guru dimulai awal tahun 1984. Mulanya sekolah yang berlokasi di Jalan Pangeran Antasari Kecamatan Banjarmasin Timur itu membutuhkan seorang guru pendamping.

Bermodalkan ijazah Madrasah Aliyah (MA) Siti Maryam, Syabran mengajukan lamaran.

“Alhamdulillah diterima. Sebelumnya, sambil belajar di Aliyah saya bekerja sebagai buruh plywood (kayu lapis),” ceritanya.

Mulanya Syabran harus mengampu semua mata pelajaran. Bahkan hingga kelas keterampilan tangan.

“Apabila kekurangan guru, saya juga yang menggantikan. Misalkan guru yang bersangkutan sedang sakit atau berhalangan," ungkapnya.

Seiring waktu, ketika jumlah guru pegawai negeri bertambah, dirinya kini hanya mengampu mata pelajaran agama dan baca tulis Alquran.

“Tapi dua tahun terakhir, saya hanya mengisi pelajaran baca tulis Alquran di sembilan kelas. Kelas 1 ada tiga kelas, kelas 2 ada tiga kelas dan kelas 3 ada tiga kelas,” rincinya.

Selama hampir empat dekade, ia telah melewati era 10 kepala sekolah. Kenangan suka dan duka tentu melimpah.

Tapi bagi Syabran lebih banyak sukanya. Karena baginya mengajar itu mengasyikkan. “Saya senang mengajar. Melihat anak-anak antusias belajar. Canda tawanya. Karena sedari dulu memang bercita-cita menjadi pendidik,” jelasnya.

Soal jenjang karir, Syabran bukannya tak mengidamkan status pegawai negeri. Ia mengaku pernah mengikuti tes CPNS. Berulang-ulang kali. Tapi tak sekali pun lulus. Padahal, nilainya tergolong bagus.

“Saya tanya mengapa tak lulus, ternyata karena usia yang sudah tidak memenuhi persyaratan. Kalau saya tidak keliru, saat itu batas maksimal umur 45 tahun. Umur saya kelebihan delapan bulan,” ungkapnya lalu tertawa.
Bahkan, ia juga pernah mencoba tes menjadi anggota TNI dan Polri. Sama saja, tak lulus-lulus.

“Makin ke sini, saya jadi berpikir bahwa usaha saya sudah cukup. Sepertinya saya memang ditakdirkan untuk mengajar. Alhamdulillah, itulah yang saya jalani hingga sekarang,” ucapnya.

Namun, bukan berarti Syabran cuek dengan nasib guru honorer lainnya. Dibuktikannya dengan menjadi pembimbing ketika ada guru honorer baru yang masuk ke sekolah.

Menurut Syabran, adalah lumrah bila tuntutan yang dihadapi guru honorer di zaman sekarang lebih banyak dari guru honorer zaman dahulu. Maka ia merasa kasihan dengan nasib para juniornya.

“Tugas saya sebagai guru honorer mungkin tak seberat mereka. Istilahnya, guru honorer sekarang dituntut mampu merangkap banyak pekerjaan. Tidak hanya mengajar,” lanjutnya.

Contoh, disuruh membantu di bagian administrasi atau kurikulum sekolah. Akibatnya, Syabran kerap menyaksikan guru honorer yang tak merasa nyaman dengan pekerjaannya.

“Saya berharap pekerjaan ini bisa dikembalikan seperti dulu. Mengajar, ya mengajar saja. Jangan dibebankan banyak tuntutan. Buatlah para guru honorer merasa nyaman,” harapnya.

Mengingat sedang ramai seleksi CPNS dan guru PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak), ia mendoakan agar rekan-rekannya tak patah semangat.

Tentu sembari meluruskan niat untuk mengamalkan ilmunya. “Jangan selalu memikirkan persoalan uang. Gaji kecil atau sedikit. Kalau yang dipikirkan melulu itu, sampai kapan pun saya pikir takkan merasa cukup. Nikmati pekerjaanmu, lalu syukurilah," tutupnya.

Awal Julukan Karang Mekar Harum

DI LINGKUNGAN sekolah yang berlokasi di Kelurahan Karang Mekar itu, Syabran Has dikenal sebagai sosok yang ramah dan lucu.

“Itulah yang membuat beliau disukai semua orang,” kata Siti Aisyah dan Taruna berbarengan.

Keduanya satu angkatan dengan Syabran. Bedanya, kedua ibu guru itu sudah berstatus PNS. Sedangkan Syabran masih menghonor.

“Beliau keasyikan mengajar. Jadi sampai enggan meneruskan pendidikan guru dengan mengikuti kelas penyetaraan,” tambah Aisyah.

Namun, seingatnya, tak pernah terdengar keluh kesah dari mulut Syabran. Baginya, pria itu selalu tampil optimis.

“Apapun dipelajari. Beliau tak segan untuk sharing dengan guru-guru yang lebih muda. Sebaliknya, beliau juga tak pelit ilmu serta pengalaman,” imbuhnya.

Selain itu, Syabran juga jarang marah. Bahkan mungkin tak pernah.

“Kalau kami, umumnya ditakuti anak-anak. Tapi kalau beliau, justru dipeluk-peluk dan dirindui anak-anak. Kadang saya khawatir kalau anak-anak bercandanya kelewatan sampai membuat Pak Syabran terjatuh dan cedera,” tutur Taruna.

Ditambahkannya, di sekolah pula Syabran menemukan jodoh. Sesama guru honorer. Namanya Isnainah.
Sang istri wafat dua tahun yang lalu. “Sama, almarhum juga seorang guru yang disukai anak-anak,” tambah Taruna.

Soal pekerjaan, yang paling membekas adalah sifat amanahnya. Contoh saat Syabran mengurusi tabungan siswa.

“Catatan keuangannya selalu rapi, sesuai peruntukannya. Beliau orangnya tegas bila menyangkut masalah dana.

Tak ada istilah guru lain boleh meminjam atau memakai dana sekolah. Cerita ini terkenal sampai ke sekolah luar. Itu pula yang membuat sekolah ini lekat dengan julukan Karang Mekar Harum," timpal Siti Aisyah.

Lantas bagaimana Syabran memenuhi segala kebutuhan rumah tangganya hanya dengan menjadi guru honorer? Terlebih dengan tiga anak di rumah.

Kepada penulis, Aisyah dan Taruna menuturkan, Syabran mencari tambahan penghasilan dengan mengajar

Alquran dari rumah ke rumah. Kemudian, membantu teman-temannya yang berdagang kecil-kecilan.

Sebagai gambaran, gaji guru honorer di Banjarmasin pada tahun 2020 lalu sebesar Rp1 juta. Tahun ini dinaikkan Dinas Pendidikan Banjarmasin menjadi Rp1,2 juta.

Ditanyakan secara terpisah, bagi Syabran, asalkan mau berusaha rezekinya pasti ada. “Alhamdulillah, saya bisa menyekolahkan anak-anak saya,” ungkapnya.

“Anak saya yang pertama sudah bekerja di bidang penjualan suku cadang mesin. Yang kedua kuliah di UIN Antasari, semester akhir. Dan anak ketiga masih di madrasah aliyah,” tutupnya.

Syabran kini tinggal di Jalan Pekapuran Raya Gang Ahmad Jamiri 2 Nomor 7 bersama ketiga anaknya.

Demikian sedikt kisah yang dapat kami bagikan tentang "37 Tahun Mengabdi Sebagai Guru Honorer, Sabran: Jangan Selalu Memikirkan Uang", semoga bermanfa'at dan dapat dijadikan sebagai bahan motivasi. 

Terimakasih atas kunjungannya, mohon doa' agar blog ini terus berkembang dan berguna bagi semua orang.
Memberi manfa'at dunia dan akhirat.

Untuk mendapatkan pemberitahuan langsung mengenai artikel terbaru di facebook dari website ini silakan klik suka pada halaman kami HANAPI BANI

atau gabung Group kami;

Youtube ;(Klik DISINI)
WA 1 ; (Klik DISINI)
WA 2 ; (Klik DISINI)
WA 3 ; (Klik DISINI)
WA 4 ; (Klik DISINI)

WA 5 ; (Klik DISINI)
WA 6 ; (Klik DISINI)
Telegram ; (Klik DISINI)
Bip ; 
(Klik DISINI)

Ùˆ ØµÙ„Ù‰ على سيدنا محمد Ùˆ على أله
 Ùˆ صحبه أجمعين
ثم السلام عليكم و رحمة الله و بركاته
Protected by Copyscape


 

0 Comments

Tidak ada komentar:

Translate

Artikel Terbaru

Seleksi Petugas Haji Pusat Digelar 17 Desember 2024

  Direktur Bina Haji Arsad Hidayat السلام عليكم Ùˆ رحمة الله Ùˆ بركاته بسم الله Ùˆ الحمد لله اللهم صل Ùˆ سلم على سيدنا محمد Ùˆ على أله  Ùˆ صحبه أج...

Powered by BeGeEm - Designed Template By HANAPI