Breaking News

04 November 2019

Masih Bergunakah RPP?



Mumpung ada seorang teman yang berani mengkritik tugas administrasi seorang guru, sekalian saya ikut memanaskan.

Awal saya kuliah, RPP bisa dibuat pada dua lembar kertas ukuran A4 untuk satu kali pertemuan. Setahun saya menjadi guru ada penambahan besar-besaran pada komponen RPP. Butuh minimal 4 halaman untuk mencetaknya. Sekarang, jika anda ingin mengintegrasikan PPK (yang karakter-karakter itu loh), literasi (yang baca-baca itu), dan 4C serta Hots (yang pedes-pedes itu, Ehh... ) maka RPP anda dalam satu kali pertemuan bisa sampai 10 lembar tanpa lampiran.



Berguna nggak sih?

Saya akan menjawab dengan pertanyaan juga

1. Apakah anda tidak bisa mengajar tanpa RPP?
2. Apakah pengajaran anda langsung kacau tanpa RPP?
3. Apakah anda berhenti memberikan teladan yang baik meski di RPP anda tidak tertulis PPK?
4. Apakah anda tidak tahu caranya menilai tanpa RPP?
5. Apakah semua yang ada di RPP anda lakukan?
6. Apakah pembelajaran gagal jika tidak sesuai RPP?
7. Apakah dengan menuliskan RPP pembelajaran anda langsung berhasil?
8. Apakah dengan menuliskan kompetensi 4C dan HOTS maka serta merta siswa anda berpikir tingkat dewa, eh tingkat tinggi maksudnya?

Kalau anda menjawab "tidak" pada 6 dari 8 pertanyaan di atas, maka saya tanyakan ulang, apakah RPP masih berguna untuk anda?



Saya punya pengalaman membuat RPP yang menurut saya RPP terbaik saya. Pertama adalah ketika saya menempuh S2. Saya membuat RPP sesuai dengan teori instructional design-nya Kemp. Apa itu? Anda bisa lihat di google. Ruwet dan panjang. Dalam satu semester hanya jadi RPP untuk dua pertemuan. Itu pun masih harus babak belur dihajar Dosen ketika saya presentasikan.

Pengalaman berikutnya, ketika saya PPG. Saya memulai membuat RPP dari membedah KD yang ada di PERMEN untuk dijadikan indikator. Dari indikator saya rumuskan tujuannya, dari tujuan saya harus bongkar pasang model pembelajaran yang sesuai, menuliskan langkahnya, memikirkan media yang akan digunakan, dan sampai penilaiannya bakal seperti apa. Dalam satu proses itu, selalu harus dikonsultasikan kepada pembimbing.

Apakah RPP itu bermanfaat dalam pembelajaran saya? Nggak juga. Saya tetap menuliskan perencanaan ala saya sendiri. Saya tuliskan beberapa garis besar hal-hal yang harus saya lakukan dalam selembar kertas. Saya baca ulang sintaks model pembelajaran yang saya gunakan berulang-ulang. Selebihnya saya berimprovisasi.

RPP terbaik saya hanya menjadi syarat administratif. Siapa juga yang mewajibkan bahwa saya harus menghafal langkah dan menerapkan apa yang saya tulis di RPP. Ada banyak hal tak terduga di luar prediksi saya dalam RPP.

Saya ingat dosen saya pernah berkata bahwa mengajar itu adalah seni. Dan bagi saya tidak ada seniman yang menuliskan script detail mengenai kegiatan tentang seni yang ia akan buat. Seniman mengikuti institusinya.

Anda yang mengenal karakter Jack Sparrow pasti akan dibuat kaget bahwa sang aktor, Johnny Deep, adalah aktor yang lebih memilih menggunakan intuisinya daripada menuruti script dari penulis skenario. Dan karakter Jack Sparrow yang melegenda adalah hasil intuisinya.



Percayalah RPP yang semakin tebal itu hanya membuat orang malas membacanya, apalagi menghafal dan menerapkan langkah-langkahnya. Komponen yang semakin banyak di RPP itu hanya 'abu' bukan 'apinya'.

Setiap ada hal yang penting untuk masa depan siswa, maka harus dituliskan di RPP. Ketika PPK dirasa penting, literasi digalakkan, ketika 4C menjadi populer dan ketika HOTS jadi trending, maka serta merta para instruktur menugaskan bahwa RPP harus memuat semua itu. Lah apa kalau dituliskan berarti dilaksanakan? Sebaliknya apa kalau tidak dituliskan berarti tidak dilaksanakan?

Saya pun setuju perencanaan itu penting, tapi perencanaan sebanyak 10 halaman untuk satu kali pertemuan (kurleb 90 menit) adalah kekonyolan. Berapa waktu anda untuk membuat RPP satu kali pertemuan kemudian bandingkan dengan waktu yang anda gunakan untuk menerapkan rencana itu?

Namanya juga rencana, kadang diterapkan, kadang ya harus dibuang.



Saya percaya guru punya intuisi yang cukup untuk berimprovisasi dalam pengajarannya. Kalau pemerintah masih ngeyel berkutat pada administrasi semacam RPP, mending jadiin algoritma dan inputkan pada robot, biar robot yang jadi guru di sekolah.

Sudah ah. Untuk tulisan yang ini, anda bebas mendebatnya.


https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2645861865473803&id=100001500457505
0 Comments

Tidak ada komentar:

Translate

Artikel Terbaru

Undangan Sosialisasi Teknis Penyusunan Proposal Bantuan Pokja Guru dan Tendik Tahun 2024 secara Online

السلام عليكم Ùˆ رحمة الله Ùˆ بركاته بسم الله Ùˆ الحمد لله اللهم صل Ùˆ سلم على سيدنا محمد Ùˆ على أله  Ùˆ صحبه أجمعين Salam Sahabat  Hanapi Bani . ...

Powered by BeGeEm - Designed Template By HANAPI